PENDEKATAN BEHAVIORISTIK

Diposting oleh inez

Terapi perilaku [behavior therapy] dan pengubahan perilaku [behavior modification] atau pendekatan behavioristik dalam psikoterapi, adalah salah satu dari beberapa “revolusi” dalam dunia pengetahuan psikologi, khususnya psikoterapi. Pendekatan behavioristik yang dewasa ini banyak depergunakan dalam rangka melakukan kegiatan psikoterapi dalam arti luas atau konseling dalam arti sempitnya, bersumber pada aliran behaviorisme. Aliran ini pada mulanya tumbuh subur di Amerika dengan tokohnya yang terkenal ekstrim, yakni John Broadus Watson, suatu aliran yang menitik beratkan peranan lingkungan, peranan dunia luar sebagai factor penting di mana seseorang dipengaruhi, seseorang belajar. Pada abad ke-17, dunia pengetahuan Filsafat ditandai oleh dua kubu besar yakni kubu “empiricism” [physical science] dan kubu “naturalism” [biological science]. Pada akhir abad yang lalu, mempengaruhi lahirnya aliran behaviorisme dengan pendekatan-pendekatannya yang kemudian menjadi terkenal dengan terapi perilaku [behavior therapy] dan perubahan perilaku [behavior modification].
Menurut Franks [1969] yang dikutip oleh Masters [1987] ada tiga hal yang sangat berpengaruh terhadap munculnya terapi perilaku, ialah :
1. Hasil penelitian dan tulisan dari I.P. Pavlov [1927,1928] mengenai percobaan- percobaan dan hasilnya yang telah dilakukan dengan mempergunakan hewan, yang sekarang dikenal dengan kondisioning-klasik.
2. Hasil penelitian dan tulisan dari E.L. Thorndike mengenai proses belajar dengan hadiah yang mengahsilkan hukum efek [law of effect] [1898,1911,1913] dan yang sekarang dikenal dengan kondisioningaktif [operant] dan perilaku instrumental.
3. Hasil penelitian dan tulisan dari J.B. Watson dengan rekan-rekannya [Jones,1924; Watson,1916; Watson & Rayner,1920] yang mengamalkan teknik dasar dari apa yang telah dilakukan oleh Pavlov, diamalkan untuk menghadapi seseorang dengan kelainan kejiwaan. Dari Watson & Rayner ini dikenal percobaan klasik mengenai kondosioning operan atau kondisioning “aktif”.
1. TERAPI PERILAKU, PENGUBAHAN PEILAKU DAN PSIKOTERAPI
Sebagai salah satu teknik psikoterapi, terapi perilaku realtif masih sangat muda, baru dipergunakan sejak 30 tahun yang lalu. Dalam kaitan dengan pengubahan perilaku [behavior modification], terdapat dua pendapat mengenai terapi perilaku. di dalam perkembangannya, terapi perilaku sebagai metode yang dipakai untuk mengubah perilaku atau arti umumnya sebagai salah satu teknik psikoterapi, menurut corey[1991] terdiri dari tiga tahap :
• Tahap pertama adalah tahap kondisioning klasik pada mana perilaku yang baru, dihasilkan dari individu secara pasif. Tokoh-tokoh pada kelompok ini ialah : Skinner ( Science and Human Behavior); A. Lazarus (Behavior Therapy and Beyond) dan Eysenck (Behavior Therapy and The Neurosis).
• Tahap kedua adalah tahap kondisioning aktif [operant], dimana perubahan-perubahan di lingkungan yang terjadi akibat sesuatu perilaku, bisa berfungsi sebagai penguat-ulang [reinforcer] agar sesuatu perilaku bisa terus diperlihatkan, sehingga kemungkinan perilaku tersebut akan diperlihatkan terus dan semakin diperkuat. Tokoh utama pada tahap kedua ini adalah Skinner.
• Tahap ketiga adalah tahap kognitif. Sebagaimana diketahui bahwa munculnya terapi perilaku dengan cirri-ciri khas yang bertentangan dengan pendekatan psikoanalisis, psikodinamik, mengesampingkan konsep berfikir, konsep sikap dan konsep nilai.
Menurut Franks (1987) yang dikutip oleh Corey bahwa terapi kognitif behavioristik sekarang berkembang sebagai bagian dari aliran terapi perilaku. Terapi perilaku yang tidak dibedakan dengan terapi perubahan perilaku, dirumuskan oleh Craighead, Kazdin,Mahoney (1976) sebagai berikut :
• Penggunaan seperangkat prosedur klinis secara luas yang deskripsi dan rasionale-nya didasarkan pada hasil penelitian psikologis dan eksperimental.
• Pendekatan analisis-fungsional dan eksperimental terhadap data klinis, didasarkan pada hasil yang objektif melalui perhitungan-perhitungan.

Perumusan ini dengan jelas menunjukan bahwa terapi perilaku dan terapi pengubahan perilaku, mendasarkan pada pendekatan analisis perilaku dan penerapannya. Dari hal inilah kemudian mendorong Skinner pada tahun 1958 mendirikan Journal of Experimental Analysis of Behavior [JEAB].
Bertumpu pada hasil penelitian empiric dan eksperimental terhadap sesuatu gejala perilaku, kemudian berkembang istilah pengubahan [modifikasi] yang kemudian dipakai sebagai terminology yang oleh sebagian ahli disamakan dengan terapi perilaku, dengan alasan bahwa dasar perubahannya kira-kira sama. Kazdin(1978) merumuskan pengubahan perilaku sebagai: pengalaman dasar riset dari teori psikologi eksperimental untuk mempengaruhi perilaku dengan tujuan mengatasi masalah-masalah pribadi dan sosial dan meningkatkan fungsinya. Sundel&Sundel (1982) merumuskan sebagai: pengalaman dari dasar dan teknik yang berasal dari analisis ekperimental terhadap perilaku dan dalam arti luasnya terhadap masalah-masalah yang timbul pada manusia.
Terapi perilaku dirumuskan oleh Masters, et al (1987) sebagai: Teknik khusus yang mempergunakan dasar psikologi [khususnya proses belajar] untuk mengubah perilaku seseorang secara kuantitatif. Kata perilaku diinterpretasikan luas, meliputi respons yang tidak terlihat seperti emosi yang dapat diketahui secara khusus dan yang ada kaitannya dengan perilaku yang terlihat. Menurut Masters, et al (1987), teknik yang dipakai dalam terapi perilaku adalah :
• Relaksasi
• Pengebalan [desensitiasasi] sistematik
• Latihan kepekaan
• Peniruan melalui model
• Kondisioning aktif [operant]
• Penguasaan diri [termasuk “biofeedback”]
• Kejenuhan
• Kondisioning melalui penolakan [aversion]
Menurut Masters, et al (1987) ada beberapa paham dasar pada terapi perilaku, yakni :
• Dihubungkan dengan psikoterapi, terapi perilaku secara relative lebih memusatkan pada perilaku itu sendiri dan kurang memperhatikan factor penyebab yang mendasarinya. Khususnya psikoanalisi yang bertumpu pada keyakinan bahwa gejala yang muncul atau terlihat harus dihilangkan dengan menghilangkan sumber penyebabnya, akarnya.
• Perilaku manusia dalam batas tertentu diperoleh melalui proses belajar, sama halnya dengan setiap perilaku lain. Pada terapi perilaku, memperhatikan secara khusus, bagaimana lingkungan mempengaruhi perilaku, antara lain dilihat dari sudut teori dan proses belajar.
• Dasar-dasar psikologi, khususnya dasar teori dan proses belajar, dapat dipergunakan secara sangat efektif dalam mengubah perilaku malasuai. Namun tidak berarti bahwa semua perilaku malasuai bisa diubah dengan dasar pendekatan bhavioristik karena factor biologic masih tetap dianggap.
• Terapi perilaku menentukan dan merumuskan tujuan khusus terapi. Meskipun tidak mengubah kepribadian secara keseluruhan, tetapi dengan menghilangkan respon-respon yang malasuai [sebagai sumbernya], diharapkan akan mempengaruhi peibadinya sebgai keseluruhan [totalitas].
• Terapi perilaku menolak teori klasik mengenai aspek dasar kepribadian [trait theory]. Sebagaimana diketahui bahwa aspek dasar kepribadian adalah predisposisi untuk melakukan sesutau perilaku secara sama pada macam-macam situasi. Ada pengaruh dari situasi sebgai sumber perangsangan [stimulus] yang mempengaruhi jawaban secara berbeda pula.
• Terapis perilaku menyesuaikan metode terapinya dengan masalah yang ada pada klien.dalam terapi perilaku tidak lagi berlaku konsep metode tunggal dalam menghadapi persoalan yang dialami pasien.sebaliknya prosedur pelaksanaan terapi perlu disesuaikan dengan persoalan yang ada dan kondisi khusus pribadinya.
• Terapi perilaku memusatkan pada keadaan sekarang.dari sudut pendekatan psikodinamok yang menitik beratkan terjadinya pemahaman terhadap kejadian-kejadian yang sudah lewat diyakininya akan mempunyai efek terapeutik.
• Terapis perilaku menilai hasil-hasil yang diperoleh secara empirik,merupakan dukungan yang besar dalam mempergunakan macam-macam teknik.meskipun hasil objektif melalui penelitian-penelitian,namun ada tingkatan-tingkatan misalnya:pada kemantapan metodologi yang dipakai,sehingga kuantifikasi saja,tidak selalu menjamin akan adanya metodologi yang mantap yang menghasilkan sesuatu hasil penelitian.

Corey(1991)Merumuskan Karakteristik dari pendekatan Behavioristik.
1 Terapi perilaku didasarkan pada hasil eksperimen yang diperoleh dari pengalaman sistematik dasar-dasar teori belajar untuk membantu seseorang mengubah perilaku malas.
2 Terapi ini memusatkan terhadap masalah yang dirasakan pasien sekarang ini dan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi,sebagai sesuatu yang berlawanan,di mana ada hal-hal yang menentukan dalam sejarah perkembangan seseorang.
3 Terapi ini menitik beratkan perubahan perilaku yang terlihat sebagai kriteria utama,sehingga memungkinkan melakukan penelitian terhadap terapi meskipun proses kognitifnya tidak bisa diabaikan.
4 Terapi perilaku merumuskan tujuan terapi dalam terminologi yang kongkret dan objektif,agar memungkinkan dilakukan intervensi untuk mengulang apa yang pernah dilakukan.
5 Terapi perilaku pada umumnya bersifat pendidikan.

►Terapi perilaku dalam arti sempitnya adalah Psikoterapi.
►Eysenck yang dikenal sebagai salah seorang penentang yang gigih terhadap psikoanalisis,pada tahun 1959,(dalam Eysneck,1987)menunjukan 10 perbedaan antara psikoterapi dengan terapi perilaku,yakni:
PSIKOTERAPI TERAPI PERILAKU
1 Mendasarkan pada teori yang tidak Mendasarkan pada perumusan teori
konsisten,tidak dirumuskan dengan tepat yang tepat dan konsisten dan dapat
dalam bentuk yang pasti. diuji secara deduktif.
2 Diperoleh dari observasi klinis yang Diperoleh dari hasil study
dibuat tanpa pengontrolan melalui eksperimental khususnya dibentuk
observasi atau eksperimen. untuk menguji teori dasar dan
deduksi-deduksinya.
3. Menganggap gejala sebagai perwujudan Menganggap gejala sebagai respon
dari sebab-sebab yang tidak disadari. terkondisi yang tidak sesuai.
4. Menganggap gejala sebagai tanda Menganggap gejala sebagai proses
adanya penekanan(represi) belajar yang salah.
5. Percaya munculnya sesuatu gejala Munculnya suatu gejala ditentukan
ditentukan oleh mekanisme perbedaan perorangan yang bisa di
pertahanan diri. kondisioningkan dan memiliki
otonomi yang labil.
6. Semua perlakuan terhadap pasien yang Semua perlakuan terhadap pasien
mengalami kelainan neurotik harus yang mengalami kelainan neurotik
dilihat sejarahnya. tidak harus dilihat sejarahnya karena
tidak relevan.
7. Kesembuhan diperoleh dengan Kesembuhan diperoleh dengan
memperlakukan dinamika-dinamika dengan memperlakukan gejala itu
yang mendasarinya tidak dengan sendiri,yakni dengan membuat
memperlakukan gejala itu sendiri. respon terkondisi yang tidak sesuai
menjadi sesuatu yang menjenuhkan
dan membentuk respon terkondisi
terkondisi yang diharapkan.
8. Interpretasi terhadap gejala,mimpi, Interpretasi bahkan jika tidak
tindakan adalah elemen yang penting subjektif atau tidak melakukan
dalam terapi. kesalahan sekalipun,tidak relevan.
9. Terapi terhadap gejalanya justru Terapi terhadap gejalanya
menyebabkan minculnya gejala yang baru. menyebabkan adanya kesembuhan
secara menetap dengan adanya
kemampuan menghilangkan respon-respon yang berlebihan melalui proses penjenuhan dengan sendirinya
10. Transferens adalah hal yang penting Hubungan pribadi tidak penting
untuk kesembuhan pasien neurotik. untuk kesembuhan penderita neurotik,sekalipun hal ini bisa berguna pada keadaan tertentu.


2. PANDANGAN TERHADAP KONSEP MANUSIA.
Para ahli psikologi behavioristik memandang manusia tidak pada dasarnya baik atau jahat.Para ahli yang melakukan pendekatan behavioristik,memandang manusia sebagai pemberi respons(responder),sebagai hasil dari proses kondisioning yang telah terjadi.

►Dustin & George(1977),yang dikutip oleh George & Cristiani(1981),mengemikakan pandangan behavioristik terhadap konsep manusia,yakni:
1. Manusia di pandang sebagai individu yang pada hakikatnya bukan individu yang baik atau yang jahat,tetapi sebagai individu yang selalu berada dalam keadaan sedang mengalami,yang memiliki kemampuan untuk menjadi sesuatu pada semua jenis perilaku.
2. Manusia mampu mengkonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya sendiri.
3. Manusia mampu memperoleh perilaku yang baru.
4. Manusia bisa mempengaruhi perilaku orang lain sama halnya dengan perilakunya yang bisa dipengaruhi orang lain.

►Ivey,et al(1987) mengemukakan bahwa pernah para pendukung pendekatan behavioristik merumuskan manusia sebagai manusia yang mekanistik dan deterministik,dimana manusia dianggap bisa dibentuk sepenuhnya oleh lingkungan dan sedikit memiliki kesempatan untuk memilih.Namun pendekatan behavioristik yang baru,menitikberatkan meningkatnya kebebasan dan pilihan melalui pemahaman terhadap dasar-dasar perilaku seseorang.
►Corey(1991),mengemukakan bahwa pada terapi perilaku,perilaku adalah hasil dari belajar.Kita semua adalah hasil dari lingkungan sekaligus adalah pencipta lingkungan.tidak ada dasar yang berlaku umum bisa menjelaskan semua perilaku.karena setiap perilaku ada kaitanya dengan sumber yang ada di lingkungan yang menyebabkan terjadinya sesuatu perilaku tersebut.
►Albert Bandura(1974,1977,1986) yang terkenal sebagai tokoh teori sosial-belajar,menolak suatu konsep bahwa manusia adalah pribadi yang mekanistik dengan model perilakunya yang deterministik.Pengubahan(modifikasi)perilaku bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang agar jumlah respon akan lebih banyak.

3.TUJUAN TERAPI PERILAKU.
Tujuan umum dari suatu terapi perilaku ialah membentuk kondisi baru untuk belajar,karena melalui proses belajar dapat mengatasi masalah yang ada.Mengenai tujuan terapi perilaku,Corey(1991)mengingatkan ada 2 konsepsi yang salah:
1. Bahwa tujuan tarapi adalah memindahkan gejala yang menjadi masalah dan karena itu akan muncul gejala yang baru,karena akar dari persoalannya tidak hilang.Hal ini dinilai tidak benar,karena terapi memusatkan perhatian pada usaha menghilangkan perilaku yang tidak sesuai denag perilaku yang sesuai.perhatian tertuju pada perilaku yang terjadi pada saat sekarang dan apa yang bisa untuk mengubahnya.
♥ Para terapis perilaku seperti Kazdin & Wilson(1978);Sloane et al(1975) membuktikan melalui penelitianya bahwa pemindahan gejala(symptom substitution)ternyata tidak ada.maka hal ini menampik kritik mengenai hasil yang diperoleh dengan terapi sekaligus menghilangkan keragu-raguan mengenai hal tersebut.
2. Konsepsi lain yang salah ialah bahwa tujuanm pasien atau klien ditentukan atau dipaksakan oleh terapisnya.padahal tujuan atau konsepsi yang baru melibatkan pasien atau klien(aspek kognitifnya)untuk ikut menentukan pilihan apa sasaran atau tujuan yang diinginkan.Hal ini jelas dirumuskan oleh G.T.Wilson(1989)(dalam Corey,1991).
Jika tujuan terapi dirumuskan dengan jelas,pasien atau klien akan bisa memperlihatkan kerja samanya dalam ikut mengarahkan tujuan dari terapi.kecuali itu dengan perumusan tujuan yang jelas,memungkinkan dilakukan evaluasi terhadap hasilnya.
Urutan dari pemilihan dan perumusan tujuan terapi,diberikan oleh Cormier & Cormier(1985)yang dikutip oleh Corey(1991)sebagai berikut:
1. Terapis menjelaskan tujuan dari terapi
2. Pasien atau klien menunjukkan secara khusus perubahan positif yang diinginkan sebagai hasilnya.
3. Terapis bersama dengan pasien atau klien menentukan apakah perubahan dari tujuan terapi yang telah dirumuskan,dimiliki oleh pasien atau klien.
4. Keduanya bersama-sama menjajaki apakah tujuan terapinya realistik.
5. Keduanya membahas kemungkinan keuntungan atau kerugian yang akan diperolehnya dari tujuan terapi.

Corey(1991) meringkas tujuan dari terapi perilaku sebagai:secara umum untuk menghilangkan perilaku tidak sesuai dan belajar berperilaku lebih efektif.memusatkan perhatian pada faktor yang mempengaruhi perilaku dan memahami apa yang bisa dilakukan terhadap perilaku yang menjadi masalah.
Pasien atau klien memiliki peran aktif dalam menentukan tujuan terapi dan melakukan penilaian bagaimana tujuan-tujuan dapat dicapai.
Ivey et al(1987)meringkas tujuan terapi perilaku sebagai berikut:untuk menghilangkan perilaku dan kesalahan yang telah terjadi melalui proses belajar dan menggantikan dengan pola perilaku yang lebih sesuai.arah perubahan perilaku secara khusus ditentukan oleh pasien atau klien.
Tujuan terapi perilaku dengan orientasi ke arah kegiatan konseling,menurut George & Cristiani(1981):
1. Mengubah perilaku tidak sesuai pada klien
2. Membantu klien belajar dalam proses pengambilan keputusan secara lebih efisien.
3. Mencegah munculnya masalah dikemudian hari.
4. Memecahkan masalah perilaku khusu yang diminta oleh klien.
5. Mencapai perubahan perilaku yang dapat dipakai dalam kegiatan kehidupannya.

4. TEKNIK TERAPI PERILAKU
Gejala perilaku yang menunjukan adanya kekurangan ditambah sebaliknya gejala prilaku yang berlebihan dikurangi agar dicapai keadaan seimbang, keadan harmonis. Gejala tersebut di yakini sebagai suatu yang muncul melalui proses belajar, sehingga untuk mengubah gejala prilaku yang lama atau untuk mempeoleh gejala prilaku yang baru, makanya proses belajar ini diubah, diperbarui dan di arahkan. Dalam berbagai teknik terapi prilaku, keadaan rileks yang di lakukan melalu berbagai prosedur relaksasi, dianggap sebagai dasar penting yang harus di lakukan terlebih dahulu.

1. RELAKSASI
Keadaan relaks adalah keadaan pada mana seseorang berada dalam keadaan pada mana seseorang dalam keadaan tenang, dalam suasana emosi yang tanang. Untuk mencapai keadaan seperti ini ,dierlukan suatu teknik melalui berbagai prosedur antara lain prosedur aktif dan prosedur pasif.
Prosedur teknik Pasif dikemukakan oleh Johannes Schultz adalah untuk seseorang dapat menguasai munculnya emosi yang bergelora dikenal sebagai latihan Otogenik (Autogenictraining). Pasien tidak lag tergantug kepada terapisnya ,tetapi melalui teknik sugesti diri (Autosugesstion technique), sesorang dapat melakukan sendiri perubahan kefaalan di dalam dirinya sendiri, juga bisa “mengatur” pemunculan-pemunculan dari emosinya pada tingkatan maksimal yang dikehendaki
Pada tahun 1938 Edmund Jacobson membuat tekhnik relaksasi yang disebut sebagai tekhnik atau latihan relaksasi progresif (progresif relaxation training) untuk membawa sesorang sampai keadaan relax pada otot-otot nya. Dalam keadaan seperti itu akan terjadi pengurangan timbulnya reaksi emosi yang menggelora, baik pada susunan syaraf pusat, maupun pada susunan syararaf otonom dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat, jasmani dan rohani.

2. PENGEBALAN SISTEMATIK
Pengebalan sistematik diperkenalkan secara resmi oleh Wolpe pada sekitar tahun 1958, namun dasar klinisnya sebenarnya berakar dari penelitian yang dilakukan oleh
MaryCover Jones, pada tahun 1924. Jones meneliti mengenai berkurang nya perasaan takut terhadap kelinci pada anak, dengan cara memberinya makanan yang disukai sambil secara bertahap memperlihatkan kelinci. Dasar ini lah yang kemudian oleh Wolpe dipakai dalam penelitian-penelitian lebih lanjut dan yang ditulis dalam buku-buku nya yang terkenal yakni: Psychotherapi by reciprocal Inhibition, pada tahun 1958.
Pada percobaan lain, Wolpe memberikan makanan pada saat kucing mendengar bunyi sehingga kucing memperlihatkan respon positif terhadap bunyi tersebut. Setelah terjadi proses conditioning, Wolpe mengubah rangsang nya menjadi rangsang kejutan listrik pada waktu mendengar bunyi yang menimbulkan rasa takut pada kucing,Wolpe menamakan keadaan ini sebagai “neurosis eksperimental” dan pada kucing terjadi efek lain yakni menghambat (menghilangkan) keinginan makan.
Wolpe kemudian menggunakan cara “Sistematik” dimulai dari hal yang masih bisa diterima ,tidak menimbulkan kegoncangan atau perasaan takut ,cemas ,kemudian rangsangan nya ditingkatkan secara bertahap ,sampai ke ransang yang seandainya di terima sekaligus , akan menimbulkan reaksi negative.
Wolpe mengatakan hal ini sebagai conditioning yang bertentangan (Counterconditiioning) yakin kalau hal ini dapat terjadi pada hewan percobaan nya, maka hal seperti ini juga dapat terjadi pada manusia.
Sebagai rangsang yang dapat menghambat munculnya perasaan takut pada manusia adalah keadaan relaks, disamping relaksasi Wolpe kemudian memakai tekhnik imajinasi (pembentukan gambaran) untuk mengganti hal-hal yang nyata dan yang terbukti dapat mengurangi ketakutan.

Goldfried & Goldfried [1977] menyarankan pengebalan melalui penguatan diri [self-controlled desensitization], di mana seorang pasien pertama-tama menggambarkan suatu keadaan yang menimbulkan perasaan cemas dan kemudian menggambarkan bagaimana diri sendiri mengatasi keadaan tersebut sampai berhasil. Teknik lain yang masih digolongkan pada tekhnik pengebalan, ialah teknik penjenuhan (extinction), yakni apabila rangasang yang menimbulkan rasa takut atau cemas,diberikan terus-menerus tanpa menimbulkan akibat negative pada respon-responnya. Kecuali terjadi keadaan jenuh yang bisa mengurangi atau menghilangkan rangsang-rangsang yang semula menimbulkan kegoncangan,perasaan takut atau cemas,juga proses pembiasaan [habituation] dapat menimbulkan efek yang sama . Keduanya praktis sama ,perbedaan nya hanya terletak pada penggunaanya secara teknis,yang menurut Levin 7 Gross [1985],pada pengebalan untuk respon terkonditioning [Conditioned response] ,sedangkan embiasaan [habituation] untuk respon tidak tercnditioning [unconditioned response].
Prosedur pelaksanaan teknik tradisional pengebalan sistematik adalah;
1. Melatih atau mengajarkan cara latihan relaksasi progresif.
2. Menyusun factor-faktor secara Hierarkis dari yang paling tidak menimbulkan ketakutan [atau kecemasan] sampai yang paling menimbulkan ketakutan.
3. Menghadapkan factor-faktor tersebut secara Hierarkis sambil membawa pasien atau klien dalam keadaan relaks.

Teknik pengebalan sistematik tidak hanya dipakai untuk menghadapi pasien atau klien yang menderita suatu fobia, tetapi juga efektif untuk penderita ansietas, depresi, obsesi, kompulsif, anorexia nervosa [tidak ingin,tidak mau makan] dan gagap.

3.LATIHAN ASERTIF
Perilaku asertif adalah perilaku antar perorangan (interpersonal) yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku asertif di tandai oleh kesesuaian sosial dan seseorang yang berperilaku asertif mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain.
Menurut Chistoff & Kelly (1985), ada tiga kategori perilaku asertif yakni:
1. Asertif penolakan.
Ditandai oleh ucapan untuk memperhalus, seperti: maaf !
2. Asertif pujian.
Ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif seperti menghargai, menyukai, mencintai, mengagumi, memuji dan bersyukur.
3. Asertif permintaan.
Jenis asertif ini terjadi kalau seseorang meminta orang lain melakukan sesuatu yang memungkinkan kebutuhan atau tujuan seseorang tercapai, tanpa tekanan atau paksaan. Dari uraian ini terlihat bahwa perilaku asertif adalah perilaku yang menunjukkan adanya keterampilan untuk bisa menyesuaikan dalam hubungan interpersonal, dalam lingkungan sosial. Sebaliknya, dari perilaku yang tidak asertif ialah misalnya, agresivitas.

Latihan asertif adalah prosedur latihan yang diberikan kepada klien untuk melatih perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi diri dari perasaan, sikap, harapan, pendapat dan haknya. Prosedurnya adalah:
1. Latihan keterampilan, di mana perilaku verbal maupun nonverbal di ajarkan, dilatih, dan diintegrasikan ke dalam rangkaian perilakunya. Teknik untuk melakukan hal ini adalah: peniruan dengan contoh (modelling), umpan balik secara sistematik, tugas pekerjaan rumah, latihan-latihan khusus antara lain melalui permainan.
2. Mengurangi kecemasan, yang diperoleh secara langsung (misalnya, pengebalan) atau tidak langsung, sebagai hasil tambahan dari latihan keterampilan. Teknik untuk melakukan hal ini antara lain dengan pendekatan tradisional untuk pengebalan, baik melalui imajinasi maupun keadaan aktual.
3. Menstruktur kembali aspek kognitif, dimana nilai-nilai, kepercayaan, sikap yang membatasi ekspresi diri pada klien, di ubah oleh pemahaman dan hal-hal yang dicapai dari perilakunya. Teknik untuk melakukan hal ini meliputi penyajian didaktik tentang hak-hak manusia, kondisioning sosial,, uraian nilai-nilai dan pengambilan keputusan. Sebagaimana diketahui, bahwa hambatan untuk mengekspresikan diri pada seseorang, yaitu masyarakat, kebudayaan, umur, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, keluarga, perlu diperhatikan karena kaitannya dengan hak-hak pribadi seseorang.

Maters, et al (1987) mengemukakan bahwa teknik yang banyak di gunakan untuk latihan asertif adalah latihan berperilaku (behavioral rehearsal) yaitu melakukan atau melatih sesuatu tindakan yang cocok dan efektif untuk menghadapi kehidupan nyata yang menimbulkan persoalan pada pasien atau klien. Tujuan dari latihan berperilaku asertif, adalah agar seseorang belajar bagaimana mengganti sesuatu respons yang tidak sesuai, dengan respons yang baru, yang sesuai.




4. PENIRUAN MELALUI PENOKOHAN (MODELLING)
Tokoh yang paling menonjol dan telah banyak melakukan penelitian mengenai proses dan prsedur peniruan, adalah Albert Bandura (1969, 1971a, 1971b, 1977,1986), yang antara lain terkenal dengan teori sosial-belajar (sosial-learning theory).
Ada beberapa istilah yang muncul sehubungan dengan prosedur penokohan ini, ialah: penokohan (modelling), peniruan (imitation), dan belajar melalui pengamatan (observational learning). Istilah penokohan merupakan istilah umum untuk menunjukkan terjadinya proses belajar melalui pengamatan dari orang lain dan perubahan yang terjadi karenanya melalui peniruan. Peniruan (imitasi) dalam arti khusus menunjukkan bahwa perilaku orang lain yang diamati, yang ditiru, lebih merupakan peniruan terhadap apa yang dilihat, apa yang dapat di amati dan bukan mengenai perilaku secara umum sebagai tokoh dengan dasar perilakunya.
Pengaruh dari peniruan melalui penokohan (modelling), menurut Bandura ada tiga hal, yakni:
1). Pengambilan respon atau keterampilan baru dan memperlihatkan dalam perilakunya setelah memadukan apa yang diperoleh dari pengamatannya dengan pola perilaku yang baru. Contoh: Keterampilan baru dalam olahraga, dalam hubungan sosial, bahasa atau pada anak dengan penyimpangan perilaku yang tadinya tidak mau berbicara, kemudian lebih banyak berbicara.
2). Hilangnya respons takut setelah melihat tokoh (sebagai model) melakukan sesuatu yang oleh si pengamat menimbulkan perasaan takut, namun pada tokoh yang dilihatnya tidak berakibat apa-apa atau akibatnya bahkan positif. Contoh: Tokoh yang bermain-main dengan dan ternyata ia tidak di gigit.
3). Pengambilan sesuatu respons dari respons-respons yang diperlihatkan oleh tokoh yang memberikan jalan untuk di tiru. Melalui pengamatan terhadap tokoh, seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu yang mungkin sudah diketahui atau dipelajari dan ternyata tidak ada hambatan.
Contoh: Remaja yang berbicara mengenai sesuatu mode pakaian di televisi.



Macam-macam penokohan menurut Corey (1991) adalah:
1). Penokohan yang nyata (live model), misalnya adalah terapis yang dijadikan model oleh pasien atau kliennya, atau guru, anggota keluarga atau tokoh lain yang dikagumi.
2). Penokohan yang simbolik (symbolic model), adalah tokoh yang dilihat melalui film, video atau media lain. Contoh: seseorang penderita neurosis yang melihat tokoh dlam film dapat mengatasi masalahnyadan kemudian ditirunya,
3). Penokohan ganda (multiple model) yang terjadi dalam kelompok. Seorang anggota dari suatu kelompok mengubah sikap dan mempelajari sesuatu sikap baru, setelah mengamati bagaimana anggota-anggota lain dalam kelompoknya bersikap. Ini adalah salah satu dari efek yang diperoleh secara tidak langsung pada seseorang yang mengikuti terapi kelompok.

Teknik peniruan melalui penokohan, dapat dipakai untuk menghadapi pasien atau klien yang menderita fobia, penderita ketergantungan atau kecanduan obat-obatan atau alcohol, bahkan dapat dipakai untuk menghadapi penderita dengan gangguan kepribadian yang berat seperti psikosis, khususnya agar memperoleh keterampilan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

5. PENGUASAAN DIRI (SELF CONTROL)
Melalui pendekatan penguasaan diri, pasien atau klien dimungkinkan memiliki pegangan untuk menghadapi masalah. Pendekatan ini menggunakan dasar proses kondisioning aktif (operant).
Dasar pendekatan ini adalah:
1). Jika kepada seseorang diberikan peran yang lebih aktif dalam proses perubahan, akan lebih mudah mencapai tujuan.
2). Pasien atau klien dapat mempergunakan keterampilan dan teknik mengurus diri untuk menghadapi masalah, yang dalam terapi tidak secara langsung diperoleh.
3). Perubahan yang diperoleh harus benar-benar mantap dan tidak berubah jika pasien atau klien menghendaki perubahan.
Masalah-masalah pada penguasaan diri, menurut Kanfer&Phillips (1970) ada dua kategori, yakni:
1). Pasien atau klien terlibat dalam pola perilaku yang merugikan (merusak) diri sendiri seperti misalnya orang yang terlalu lahap makan, berlebihan dalam merokok, meminum minuman keras atau ketergantungan pada obat-obatan dan perilaku seks yang berlebihan.
2). Pasien atau klien menderita, karena terlalu sedikit memperlihatkan perilaku yang sesuai, misalnya masalah belajar pada pelajar, jarang membantu orang lain, gagal untuk memprakarsai kontak sosial dan seksualitas yang pasif.
Dalam melaksanakan teknik penguasaan diri, terapis membantu pasien atau klien menyusun rencana yang meliputi pemantauan diri (self monitoring), penilaian diri (self evaluation), penguatan diri (self reinforcement) dan sasaran perilaku (target behavior).
Mengenai penguasaan diri ini, Corey (1991) mempergunakan istilah mengatur diri (self management) yang meliputi pemantauan diri (self monitoring), memberi hadiah terhadap diri sendiri (self reward), kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri (self contracting) dan penguasaan terhadap rangsang (stimulus control).

KASUS
Reaksi fobia merupakan reaksi ketakutan yang bersifat irasional terhadap obyek atau situasi tertentu,yang secara faktual obyek atau situasi tersebut tidak membahayakan dan tidak menakutkan.

Pada umumnya setiap orang memiliki ketakutan irasional minor, tetapi pada penderita fobia ketakutan yang dialami sangat intens dan mengganggu aktivitas keseharian mereka. Seperti Ny D, sebenarnya ia memerlukan sesuatu untuk dibeli bagi keperluan rumah tangganya, namun oleh sebab ketakutannya tersebut ia memutuskan untuk cepat pulang ke rumah. Bila ia memaksakan diri maka rangkaian gejala fisik yang mengganggu akan memanifestasi, seperti keluar keringat dingin, gemetar kaki dan tangannya, serta debaran jantung yang sangat keras, yang kemudian akan diikuti serangan sakit kepala, sakit punggung bahkan sakit perut.

Ny D, tampaknya perkembangan fobia padanya terkait dengan pengalaman traumatik pada saat terjadi kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Saat itu Ny D sedang berbelanja di salah satu toko swalayan yang menjadi sasaran agresivitas massa. Ny D benar-benar panik dan ia berpikir bahwa hanya berkat Tuhan yang Maha Kuasa yang membuat dirinya dapat keluar dari arena kerusuhan tersebut. Jadi situasi traumatik tersebutlah yang menjadi sumber berkembangnya fobia sosial pada Ny D.
Hubungahan teori dan kasus
Terapi untuk penderita sangat tergantung dari pola dinamika yang mendasari perkembangan keluhan fobia.Bila fobia disebabkan pengalaman traumatis, maka terapi diberikan dengan program relaksasi dan desensitisasi yang sistematik dan re-edukasi. Artinya, dengan program ini pasien diharapkan dapat menurunkan tingkat sensitivitas terhadap obyek yang ditakuti secara bertahap.
Dalam hal ini Ny D diminta berusaha untuk tenang dalam suasana emosi yang cukup tenang, kemudian Ny D diajak menghadiri pertemuan sosial beberapa kali dengan kelompok orang yang secara bertahap jumlahnya semakin besar.
Pada mulanya didampingi untuk kemudian secara bertahap dilepas sendiri. Pelatihan yang diterapkan pada Ny D direncanakan secara matang, berdasar pada teknik desensitisasi yang terprogram. Setiap Ny D berhasil mengatasi ketakutan akan pertemuan dengan sekelompok orang dalam jumlah tertentu, dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap peningkatan kepercayaan diri Ny D. Demikian seterusnya, dan seterusnya, sampai akhirnya Ny D mampu untuk berada dalam kerumunan orang tanpa disertai reaksi fobianya.Yang lebih tepat adalah bila seseorang mengalami situasi traumatik hendaknya diupayakan diatasi dengan baik sebelum berkembang menjadi reaksi fobia.

Upaya preventif tentu saja lebih baik daripada upaya kuratif.Manakala reaksi fobia tertuju pada kehadiran obyek simbolik dari ketakutan dan kecemasan intrapsikis yang diintegrasikan dengan ketakutan terhadap obyek eksternal tertentu yang dihadapi penderita, kondisi tersebut berarti suatu pengembangan dari fungsi kepribadian yang mengalami gangguan serius. Dalam kasus tersebut penderita biasanya bersikap pasif dan submisif terhadap keluhannya dan tidak berupaya keras untuk sungguh-sungguh mengatasi permasalahannya. Untuk penderita fobia jenis ini dibutuhkan penanganan

3 komentar:

LebihokdariAdipati mengatakan...

semuanya jadi memudahkan sya belajar psikologi

mirnaaf mengatakan...

bagus sih lengakp. kumplit. tapi kok gak ada sumbernyaa??
sangat dipertanyakan n diragukan

Unknown mengatakan...

Kutipannya sdh ada tp mengapa tulisannya tdk dilengkapi dg sumber pustaka?

Posting Komentar